MENEMBUS
LEBATNYA HUTAN MANGROVE:
Refleksi
Perjalanan Karya Wisata dan Tirta Yatra Siswa SMAN 1 Banjar, 12 Januari 2010
Selasa dini hari, tanggal 12 Januari 2010 sekitar pukul
05.00 wita, halaman depan SMAN 1 Banjar terlihat berbeda. Pagi yang biasanya
berhujan dengan angin berhembus keras dan suhu dingin, kini terlihat lebih
bersahabat. Beberapa bintang masih terlihat sebelum hilang tersapu pagi.
Anginpun berhembus sejuk, tidak dingin lagi. Sebanyak kurang lebih 173 siswa
kelas XII dengan ransel kecil lalu lalang mempersiapkan keperluan pribadi
maupun kelompoknya. Ada yang mengangkat keperluan konsumsi, perlengkapan
penelitian, ataupun bahan-bahan untuk menghadapi mabok perjalanan. Pagi itu
halaman sekolah memang terlihat ramai, rebut, krodit, tetapi masih tetap dalam
konteks persiapan perjalanan menuju lokasi karya wisata dan tirta yatra.
Sebanyak delapan bus telah siap mengantarkan mereka menuju
lokasi karya wisata. Berdasarkan hasil observasi awal, ditetapkan tiga lokasi
untuk program yang berbeda. Ketiga lokasi itu, adalah 1) Pusat Informasi
Mangrove (The Mangrove Information Centre), Jalan By Pass Ngurah Rai Km
21 Suwung Kauh, Denpasar. Objek studi ini, di-explore oleh program IPA
sehingga diperoleh informasi sebanyak-banyaknya tentang Hutan Mangrove dan
relevansinya dengan lingkungan; 2) Balai Arkeologi Denpasar, Jl. Raya Sesetan
No. 80 Denpasar yang dikunjungi oleh siswa program bahasa; dan 3) Balai Besar
Meteorologi dan Geofisika Wilayah III Denpasar sebagai objek studi siswa
program IPS. Ketiga objek studi ini diyakini sangat relevan dan signifikan
dikunjungi dalam konteks pembelajaran lingkungan, alam, dan budaya.
Tepat pukul 05.45 wita, rombongan karya wisata dan tirta
yatra meninggalkan halaman sekolah. Keceriaan dari seluruh siswa begitu terasa,
sehingga nyaris menghilangkan berbagai tantangan yang akan dihadapi. Sangat
dimaklumi ada sebagian kecil di antara siswa ataupun pendamping yang rawan
dengan goncangan dan perubahan tekanan udara. Kerwanan ini berakibat kepada
hadirnya nuansa mabok. Rombongan berangkat melewati jalur Bedugul – Denpasar
melalui Wana Giri. Perjalanan menanjak dengan banyak tikungan sungguh melelahkan.
Tetapi, keindahan topografi alam yang menawarkan jurang, bukit, dan danau
seakan menghempaskan kejenuhan dalam perjalanan. Kedelapan bus beriringan,
seperti semut sedang mencari ransum untuk sang ratu. Semut tidak lain adalah
siswa yang haus akan ilmu pengetahuan (ratu). Sungguh perjalanan yang bermakna
jika secara sungguh-sunguh dimaknai dengan penuh makna.
Rombongan yang menuju Pusat Informasi Mangrove, meluncur
tanpa hambatan yang berarti. Tepat pukul 10.30, rombongan sampai di lokasi dan
langsung diterima oleh staf Pusat Informasi Mangrove. Pertemuan di Lobi
berlangsung secara lesehan, sehingga tidak terlihat nuansa yang formal. Namun,
suasana itu mampu menghadirkan keakraban yang lebih cepat dan lebih baik.
Berbagai informasi awal berkaitan dengan Hutan Mangrove diberikan oleh salah
seorang staf. Terlihat siswa memperhatikan dengan seksama dan sesekali mencatat
hal-hal yang dianggap peting. Pertemuan di Lobi itu, diakhiri dengan penyerahan
cindera mata oleh wakil kepala sekolah mewakili rombongan.
Akhirnya, dengan diantar oleh dua orang staf dari Pusat
Informasi Mangrove, rombongan siswa kelas XII program IPA menjelajah Hutan
Mangrove. Sebagian besar siswa menyatakan bahwa baru pertama kali memasuki
kawasan hutan mangrove. Inilah hutan di tengah laut. Semakin, ke dalam, yaitu
menuju arah laut, hutan semakin lebat. Perjalanan di atas jembatan yang
panjangnya kurang lebih 1,5 km, tak dirasakan oleh siswa. Bahkan, ada kesan
siswa tenggelam dalam aktivitas mengamati, mencatat, bertanya, dan mendokumentasikan
berbagai fenomena.
Pembelejaran yang kontekstual telah terwujud nyata.
Pembelajaran dengan paradigma konstruktivisme menjelma di lebatnya hutan
mangrove di tengah laut. Beberapa indikator dari terimplementasinya
pembelajaran kontekstual dengan paradigma konstruktivisme, yaitu aktivitas
siswa dalam mengumpulkan informasi, menganalisis fenomena, diskusi aktif, dan
menghubungkan teori dengan kondisi nyata di kawasan hutan mangrove.
Pembelajaran seperti itu tidak pernah didapatkan di ruangan kelas, sehingga
nyaris merupakan hal baru yang didapatkan siswa.
Siswa meng-eksplore informasi sebanyak-banyaknya dari
staf Balai Pengelolaan Hutan Mangrove. Informasi itu, di antaranya tentang
sejarah pelestarian hutan mangrove, perkembangannya dari tahun ke tahun,
dukungan stakeholder, kendala dalam pengelolaan, serta upaya yang
dilakukan untuk mengatisipasi berbagai HTAG (hambatan, tantangan, ancaman, dan
gangguan) yang ditemukan. Melalui observasi siswa menemukan kondisi riil hutan
mangrove, perairan pasang surut, dan biota yang ada di dalamnya. Semua data dan
informasi itu dijadikan sebagai bahan untuk melakukan analisis sehingga dapat
memberikan konklusi yang relevan, signifikan, dan akurat.
Kegiatan karya wisata yang di dalamnya mengandung substansi
penting, yaitu melakukan penelitian, adalah upaya meningkatkan kompetensi
siswa. Paling sedikit ada dua kompetensi yang hadir dan terasah pada kegiatan
itu, yaitu 1) kompetensi akademik dan 2) kompetensi sosial. Dalam kaitannya
dengan kompetensi akademik, melalui kegiatan ini diasah daya analitis kritis
siswa dalam menghubungkan pengetahuan yang dimiliki dengan kondisi nyata
sehari-hari. Peningkatan daya analitis kritis akan memicu dan memacu
kreativitas siswa. Daya analitis kritis dan kreativitas berkorelasi postif
dengan kemampuan intelektual. Ketika daya analitis kritis, kreativitas, dan
kemampuan intelektual siswa meningkat, maka ada kecenderungan untuk belajar
secara efektif dan efisien. Muara dari semua itu adalah peningkatan hasil
belajar siswa.
Kegiatan karya wisata yang diintegrasikan dengan tirta yatra
sangat diyakini mampu mampu meningkatkan komtensi sosial siswa. Melalui
kegiatan ini, siswa diberikan ruang yang lebih luas untuk berinteraksi dengan
siswa lain, melalui kerja sama dan diskusi. Peluang interaksi juga terbuka
dengan guru dan nara sumber. Pembelajaran kooperatif secara nyata telah
terwujud. Kemampuan untuk berinteraksi dan berkolaborasi, sangat diperlukan
baik di pendidikan yang lebih tinggi maupun di masyarakat. Kondisi ini sangat
potensial meningkatkan posisi tawar siswa dalam menghadapi persaingan global
yang semakin ketat.
Belajar sepanjang 15 jam dari pukul 05.00 sampai dengan
20.00 wita melalui kegiatan karya wisata dan tirta yatra tidak membuat lelah.
Begitu banyak pengalaman didapatkan, mengamati, menganalisis, mengkonfirmasi,
menghubungkan dengan teori, refresing, sampai waktu untuk memejamkan mata,
merenungkan kemahakuasaan Hyang Widi, Tuhan Yang Maha Kuasa. Oleh karena itu,
patut direnungkan kembali tentang peranan, fungsi, dan manfaat yang dipetik
dari kegiatan karya wisata dan tirta yatra. Kegiatan yang dirancang dengan
perencanaan yang sungguh-sungguh, matang, dan cerdas niscaya akan lebih banyak
manfaat ketimbang mudaratnya. Semoga kebaikan selalu datang dari segala
penjuru.
Oleh: Gede Putra Adnyana
Guru SMAN 1 Banjar, Buleleng, Bali
3 komentar:
Suatu metode pembalajaran yg sangat tepat pada kurikulum KTSP dengan adanya karya wisata, sehingga kompetensi akademik dan sosialnya sekaligus dapat di unduh dalam sekali kegiatan. Semoga kegiatan ini dapat diambil manfaatnya oleh semua pihak sehingga kedepan ada perubahan pola perencanaan sampai pelaporan kearah yang lebih baik.
Sedikit ralat pada alinea 6, hutan mangrove di tengah laut ?
Terima kasih, atas komentarnya. Maksud "Hutan Mangrove di tengah laut", yakni manakala mata menghadap langit, maka lebatnya hutan mangrove menutupi pandangan. Tetapi, tatkala mata menoleh bumi, maka air laut menyapu pandangan. Sebuah diksi untuk mengundang pertanyaan. Semoga dalam kebaikan.
mampir nich...
oh ea,, ada sedikit info tentang kayu jabon, mungkin ada yang pernah tau tentang kayu jabon.
ok,, SALAM....
Posting Komentar